Kategori | Blog |
Di lihat | 1310 kali |
Harga | Rp (hubungi cs) |
Mengapa justru ketika pengunaan paper bag sebagai kemasan atau kantung justru di dunia barat sibuk mengungkap jika plastik lebih ramah lingkungan?
Baru baru ini banyak penelitian yang menyampaikan informasi temuannya bahwa plastik dinilai lebih ramah dari pada paper bag. seperti penelitian terbaru yang dilakukan dengan judul Life Cycle Assessment of Supermarket Carrier Bags oleh Dr. Chis Edwards dan Jonna Myhoff Fry di Inggris secara spesifik menjelaskan Jumlah emisi CO2 pada kantung plastik sepertiga lebih sedikit dibanding kantung kertas dan tas berbahan katun yang biasa digunakan oleh para pencinta lingkungan ternyata berdampak 200 kali lebih buruk pada iklim dibanding kantung plastik. Untuk menyamai dampak dari satu kali penggunaan kantung plastik, sebuah tas katun harus digunakan berulang kali selama satu tahun, sedangkan kantung kertas harus digunakan ulang setidaknya tiga kali sebelum dibuang.
Secara lebih spesifik dijelaskan bahwa kantung plastik mengeluarkan 1.57 kg CO2 untuk satu kali pemakaian. Angka tersebut sama dengan pengeluaran CO2 pada tas katun yang digunakan sebanyak 171 kali, sedangkan rata-rata tas tersebut hanya digunakan sebanyak 51 kali. Selain itu, bila kantung plastik digunakan kembali pengeluaran CO2-nya turun hingga 1.4 kg. Angka tersebut hampir sama dengan jumlah CO2 yang dikeluarkan kantung kertas setelah digunakan sebanyak empat kali (1.38 kg), sedangkan rata-rata kantung kertas hanya digunakan satu kali kemudian dibuang.
Namun jika kita menarik lebih jauh sebernarnya penelitian kadang hanya bagian dari persaingan bisnis, dimana dengan adanya perkembangan bahwa paper bag menjadi pilihan kantung ramah lingkungan aliran ekonomi global dari dunia barat sebagai produsen plastik akanb berpindah ke kawasan timur, dimana negara timur lebih banyak hutan tropis yang menghasilkan bahan baku paper bag lebih banyak, dan juga waktu tumbuh pohon-pohon tersebut lebih maksimal.
JIka kemudian dunia beralih menggunakan paper bag, secara otomatis kebutuhan bahan dasar dan pengolahan bahan tersebut akan berkembang di wilayah timur (termasuk Indonesia) tentu saja ini akan sangat merugikan secara ekonomi bagi negara-negara maju yang tidak memiliki lahan luas dan alam yang bersahabat.